Masalah-masalah cybercrime selalu menjadi masalah yang menarik karena
beberapa alasan, antara lain karena permasalahan tersebut masih tergolong baru,
berkaitan dengan teknologi yang hanya sebagian orang mampu melakukannya,
terbatasnya jangkauan hukum untuk mengantisipasi dan lain sebagainya. Di
Indonesia penanganan permasalahan ini masih terkesan sporadis dan tidak serius,
padahal apabila permasalahan ini dibiarkan akan berimbas pada kepercayaan
terhadap dunia usaha di Indonesia.
Saat ini, penyalahgunaan jaringan internet di Indonesia sudah mencapai
tingkat yang memprihatinkan. Akibatnya, Indonesia dijuluki sebagai negara
kriminal internet. Bahkan Indonesia masuk dalam peringkat 10 besar pelanggaran
internet terbesar di dunia. Karena itu, tak heran, apabila saat ini, pihak luar
negeri langsung menolak setiap transaksi di internet menggunakan kartu kredit
yang dikeluarkan perbankan Indonesia. Maraknya kejahatan di dunia maya (cyber
crime) merupakakan imbas dari kehadiran teknologi informasi (TI), yang di satu
sisi diakui telah memberikan kemudahan-kemudahan kepada manusia. Namun
demikian, di sisi lainnya, kemudahan tersebut justru sering dijadikan sebagai
alat untuk melakukan kejahatan di dunia maya (cyber crime) seperti yang sering
kita saksikan belakangan ini.
Oleh karena
itu, untuk mencegah merajalelanya cyber crime, maka perlu dibuat aturan hukum yang
jelas untuk melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya. Bahkan, dengan
pertimbangan bahwa pengembangan teknologi informasi dapat menimbulkan
bentuk-bentuk kejahatan baru, terutama dalam penyalahgunaan teknologi
informasi, akhirnya pada 4 Desember 2001 yang lalu, PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) mengeluarkan resolusi Nomor 55/63. Dalam resolusi tersebut
disepakati bahwa semua negara harus bekerja sama untuk mengantisipasi dan
memerangi kejahatan yang menyalahgunakan teknologi informasi. Salah satu butir
penting resolusi menyebutkan, setiap negara harus memiliki undang-undang atau
peraturan hukum yang mampu untuk mengeliminir kejahatan tersebut.
Perkembangan yang pesat dari teknologi
telekomunikasi dan teknologi komputer menghasilkan internet yang multifungsi.
Perkembangan ini membawa kita ke ambang revolusi keempat dalam sejarah
pemikiran manusia bila ditinjau dari konstruksi pengetahuam umat manusia yang
dicirikan dengan cara berfikir yang tanpa batas (borderless way of thinking).
Percepatan teknologi semakin lama
semakin supra yang menjadi sebab material perubahan yang terus menerus dalam
semua interaksi dan aktivitas masyarakat informasi. Internet merupakan big bang
kedua – setelah big bang pertama yaitu material big bang menurut versi
Stephen Hawking – yang merupakan knowledge big bang dan
ditandai dengan komunikasi elektromagentoopis via satelit maupun
kabel, didukung oleh eksistensi jaringan telefon yang telah ada dan akan segera
didukung oleh ratusan satelit yang sedang dan akan diluncurkan.
Internet merupakan symbol material embrio
masyarakat global. Internet membuat globe dunia, seolah-olah menjadi seperti
hanya selebar daun kelor. Era informasi ditandai dengan aksesibilitas
informasi yang amat tinggi. Dalam era ini, informasi merupakan komoditi utama
yang diperjual belikan sehingga akan muncul berbagai network dan
information company yang akan memperjual belikan berbagai fasilitas
bermacam jaringan dan berbagai basis data informasi tentang berbagai hal yang
dapat diakses oleh pengguna dan pelanggan.
Semua itu membawa masyarakat ke dalam
suasana yang disebut oleh John “aisbitt, “ana “aisbitt dan Douglas Philips
sebagai Zona Mabuk Teknologi. Internet (yang menghadirkan cyberspace dengan
realitas virtualnya) menawarkan kepada manusia berbagai harapan dan kemudahan.
Akan tetapi dibalik itu, timbul persoalan berupa kejahatan yang dinamakan cyber
crime, baik sistem jaringan komputernya itu sendiri yang menjadi sasaran maupun
komputer itu sendiri yang menjadi sarana untuk melakukan kejahatan. Tentunya
jika kita melihat bahwa informasi itu sendiri telah menjadi komoditi maka upaya
untuk melindungi asset tersebut sangat diperlukan. Salah satu upaya
perlindungan adalah melalui hukum pidana, baik dengan bersaranakan penal maupun
non penal.
Sebenarnya dalam persoalan cybercrime,
tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang
dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak
hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara
khusus belum diatur dalam undang-undang. Persoalan menjadi lain jika ada
keputusan politik untuk menetapkan cybercrime dalam perundang-undangan
tersendiri di luar KUHP atau undang-undang khusus lainnya. Sayangnya dalam
persoalan mengenai penafsiran ini, para hakim belum sepakat mengenal kateori
beberapa perbuatan. Misalnya carding, ada hakim yang menafsirkan masuk
dalam kateori penipuan, ada pula yang memasukkan dalam kategori pencurian.
Untuk itu sebetulnya perlu dikembangkan pemahaman kepada para hakim mengenai
teknologi informasi agar penafsiran mengenai suatu bentuk cybercrime
ke dalam pasal-pasal dalam KUHP atau undang-undang lain tidak membingungkan.