Cybercrime
sebagai kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai
penggunaan komputer secara ilegal.
Kejahatan Komputer adalah segala aktifitas tidak sah yang memanfaatkan komputer untuk tidak pidana . Sekecil apapun dampak atau akibat yang ditimbulkan dari penggunaan komputer secara tidak sah atau ilegal merupakan suatu kejahatan. Secara umum dapat disimpulkan sebagai perbuatan atau tindakan yang dilakukan dengan menggunakan komputer sebagai alat/sarana untuk melakukan tidak pidana atau komputer itu sendiri sebagai objek tindak pidana. Dan dalam arti sempit kejahatan komputer adalah suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan teknologi komputer yang canggih.
Kejahatan Komputer adalah segala aktifitas tidak sah yang memanfaatkan komputer untuk tidak pidana . Sekecil apapun dampak atau akibat yang ditimbulkan dari penggunaan komputer secara tidak sah atau ilegal merupakan suatu kejahatan. Secara umum dapat disimpulkan sebagai perbuatan atau tindakan yang dilakukan dengan menggunakan komputer sebagai alat/sarana untuk melakukan tidak pidana atau komputer itu sendiri sebagai objek tindak pidana. Dan dalam arti sempit kejahatan komputer adalah suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan teknologi komputer yang canggih.
CARDING
Carding adalah berbelanja menggunakan nomor dan identitas kartu kredit orang
lain, yang diperoleh secara ilegal, biasanya dengan mencuri data di internet.
Sebutan pelakunya adalah Carder. Sebutan lain untuk kejahatan jenis ini adalah
cyberfroud alias penipuan di dunia maya..
HACKING
Hacking adalah kegiatan menerobos program komputer milik orang/pihak lain.
Hacker adalah orang yang gemar ngoprek komputer, memiliki keahlian membuat dan
membaca program tertentu, dan terobsesi mengamati keamanan (security)-nya.
Hacker memiliki wajah ganda; ada hacker sejati yang umumnya benar-benar pintar
dan ada yang pencoleng yang kebanyakan bodoh.
CRACKING
Cracking adalah hacking untuk tujuan jahat. Sebutan untuk cracker adalah
hacker bertopi hitam (black hat hacker). Berbeda dengan carder yang hanya
mengintip kartu kredit, cracker mengintip simpanan para nasabah di berbagai
bank atau pusat data sensitif lainnya untuk keuntungan diri sendiri.
DEFACING
Defacing adalah kegiatan mengubah halaman situs/website pihak lain, seperti
yang terjadi pada situs Menkominfo dan Partai Golkar, BI baru-baru ini dan
situs KPU saat pemilu 2004 lalu. Tindakan deface ada yang semata-mata iseng,
unjuk kebolehan, pamer kemampuan membuat program, tapi ada juga yang jahat,
untuk mencuri data dan dijual kepada pihak lain.
PHISING
Phising adalah kegiatan memancing pemakai komputer di internet (user) agar
mau memberikan informasi data diri pemakai (username) dan kata sandinya
(password) pada suatu website yang sudah di-deface. Phising biasanya diarahkan
kepada pengguna online banking. Isian data pemakai dan password yang vital yang
telah dikirim akhirnya akan menjadi milik penjahat tersebut dan digunakan untuk
belanja dengan kartu kredit atau uang rekening milik korbannya.
SPAMMING
Spamming adalah pengiriman berita atau iklan lewat surat elektronik (e-mail)
yang tak dikehendaki. Spam sering disebut juga sebagai bulk email atau junk
e-mail alias “sampah”. Meski demikian, banyak yang terkena dan menjadi korbannya.
Yang paling banyak adalah pengiriman e-mail dapat hadiah, lotere, atau orang
yang mengaku punya rekening di bank di Afrika atau Timur Tengah, minta bantuan
netters untuk mencairkan, dengan janji bagi hasil.
MALWARE
Malware adalah program komputer yang mencari kelemahan dari suatu software.
Umumnya malware diciptakan untuk membobol atau merusak suatu software atau
operating system. Malware terdiri dari berbagai macam, yaitu: virus, worm,
trojan horse, adware, browser hijacker, dll. Di pasaran alat-alat komputer dan
toko perangkat lunak (software) memang telah tersedia antispam dan anti virus,
dan anti malware . http://teknologitinggi.wordpress.com
1. Latar Belakang Masalah
Masalah-masalah cybercrime selalu menjadi masalah
yang menarik karena beberapa alasan, antara lain karena permasalahan tersebut
masih tergolong baru, berkaitan dengan teknologi yang hanya sebagian orang
mampu melakukannya, terbatasnya jangkauan hukum untuk mengantisipasi dan lain
sebagainya. Di Indonesia penanganan permasalahan ini masih terkesan sporadis
dan tidak serius, padahal apabila permasalahan ini dibiarkan akan berimbas pada
kepercayaan terhadap dunia usaha di Indonesia.
Saat ini, penyalahgunaan jaringan internet di Indonesia
sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Akibatnya, Indonesia dijuluki
sebagai negara kriminal internet. Bahkan Indonesia masuk dalam peringkat 10
besar pelanggaran internet terbesar di dunia. Karena itu, tak heran, apabila
saat ini, pihak luar negeri langsung menolak setiap transaksi di internet
menggunakan kartu kredit yang dikeluarkan perbankan Indonesia. Maraknya
kejahatan di dunia maya (cyber crime) merupakakan imbas dari kehadiran
teknologi informasi (TI), yang di satu sisi diakui telah memberikan
kemudahan-kemudahan kepada manusia. Namun demikian, di sisi lainnya, kemudahan
tersebut justru sering dijadikan sebagai alat untuk melakukan kejahatan di
dunia maya (cyber crime) seperti yang sering kita saksikan belakangan ini.
Oleh karena itu, untuk mencegah
merajalelanya cyber crime, maka perlu dibuat aturan hukum yang jelas untuk
melindungi masyarakat dari kejahatan dunia maya. Bahkan, dengan pertimbangan
bahwa pengembangan teknologi informasi dapat menimbulkan bentuk-bentuk
kejahatan baru, terutama dalam penyalahgunaan teknologi informasi, akhirnya
pada 4 Desember 2001 yang lalu, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) mengeluarkan
resolusi Nomor 55/63. Dalam resolusi tersebut disepakati bahwa semua negara
harus bekerja sama untuk mengantisipasi dan memerangi kejahatan yang
menyalahgunakan teknologi informasi. Salah satu butir penting resolusi
menyebutkan, setiap negara harus memiliki undang-undang atau peraturan hukum
yang mampu untuk mengeliminir kejahatan tersebut.
2. Identifikasi Masalah
Atas latar belakang masalah yang
telah diuraikan di muka, maka penulis dapat mengidentifikasikan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana upaya kriminalisasi
Cybercrime ini di Indonesia ?
Bagaimana upaya pencegahan dan
penanggulangan Cybercrime ini di Indonesia ?
Upaya Kriminalisasi Cybercrime
Nazura Abdul Manap membedakan tipe-tipe dari cybercrime menjadi 3 (tiga)
yaitu:
Cybercrimes againts property, meliputi Theft (berupa theft of information,
theft of propoery dan theft of services), Fraud/Cheating, Forgery, dan
Mischeif.
Cybercrimes againts persons, meliputi pornography, cyberharassment, cyber
stalking dan cyber-trespass. Cyber-trespass meliputi Spam E-mail, Hacking a Web
Page dan Breaking into Personal Computer.
Cyber-terrorism
Secara radikal Cyberspace telah mengubah hubungan antara legally significant
(on-line) phenomena and physical location. Peningkatan jaringan komputer global (global computer network) telah
menghancurkan hubungan antara letak geografis dengan :
Kewenangan pemerintah untuk memaksakan
kontrol atas online behaviour.
Pengaruh online behaviour
terhadap individu atau barang
Legitimasi pemerintah untuk
mengatur fenomena global, dan
Kemampuan wilayah untuk
memberitahukan kepada orang yang melewati perbatasan mengenai hukum yang
berlaku.
Teknologi informasi tidak akan
menjadi besar tanpa bantuan dari pihak lain sebagai pengembangan, pemasaran dan
pengguna. Paling tidak ada 3 (tiga) pihak yang kemudian saling menyesuaikan
diri menuju apa yang sekarang populer dengan istilah dunia maya atau virtual
reality atau mayantara atau disebut juga electronic world.
Pertama, adalah kemampuan dari
masyarakat untuk menggunakan teknologi informasi ini. Dalam hal ini masyarakat
merupakan pengguna dan dalam optik ekonomi merupakan pangsa pasar.
Kedua, dalam rangka menyongsong
pemanfaatan teknologi informasi untuk berbagai bidang, maka industri teknologi
informasi harus mempersiapkan diri. Artinya, industri yang bergerak dibidang
teknologi informasi harus mempersiapkan diri apabila terjadi permintaan sarana
dan prasarana internet.
Ketiga, kesiapan pemerintah
masing-masing negara (terutama negara-negara berkembang dan terbelakang) untuk
menerima era internet sebagai bagian penting dari kehidupan.
Kejahatan (crime), tidak dapat
dilepaskan dari 5 (lima) faktor yang saling berkaitan, yaitu pelaku kejahatan,
modus kejahatan, korban kejahatan, reaksi sosial atas kejahatan dan hukum
penanggulangan kejahatan, disamping instrumen-instrumen lain yang juga tidak
kalah penting. Hukum (peraturan) tampak cepat menjadi usang manakala mengatur
bidang yang mengalami perubahan cepat, sehingga situasinya seperti terjadi
kekosongan hukum (vaccum rechts). Terhadap kejahatan di internet atau
Cybercrime ini tampaknya memang terjadi kekosongan hukum.
Istilah lain yang sepadan atau sinonim dengan Cyberlaw diantaranya adalah
the law of the internet, the law of information and technology,
telecommunication law dan lex informatica serta hukum telematika.
Mieke Komar Kantaatmaja dan Ahmad M. Ramli dalam makalah “Kajian dan
Evaluasi Hukum Nasional Dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi menunjukkan
beberapa permasalahan hukum yang perlu dicermati dalam persiapan regulasi dalam
kegiatan di Cyberspace, yaitu :
Aspek hukum perjanjian dan tanda
tangan digital.
Pelanggaran hukum dalam bentuk
akses ilegal terhadap jaringan komputer.
Penyalahgunaan password dalam era
ekonomi digital dan
Keterkaitan Hak atas Kepemilikan
intelektual (HAKI) dengan sistem informasi (Hak Cipta, Merek, Paten, Informasi
Rahasia/Rahasia Dagang/Trade Secret dan Disain Industri).
Pro kontra tersebut disebabkan
oleh 2 (dua) hal, Pertama, karakteristik aktivitas di internet yang bersifat
lintas batas, sehingga tidak lagi tunduk pada batasan-batasan teritorial.
Kedua, sistem hukum tradisional yang justru bertumpu pada batasan-batasan
teritorial dianggap tidak cukup memadai untuk menjawab persoalan-persoalan
hukum yang muncul akibat aktivitas di internet. Pro kontra mengenai masalah ini
sedikitnya terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :
Kelompok pertama secara total
menolak setiap usaha untuk membuat aturan hukum bagi aktivitas-aktivitas di
internet yang didasarkan atas sistem hukum tradisional. Internet harus diatur
oleh sistem hukum baru yang didasarkan atas norma-norma hukum yang baru pula
yang dianggap sesuai dengan karakteristik yang melekat pada internet.
Kelemahannya menafikan fakta, meskipun aktivitas internet itu sepenuhnya
beroperasi secara virtual, tetapi masih tetap melibatkan masyarakat (manusia)
yang hidup di dunia nyata.
Kelompok kedua berpendapat bahwa
penerapan sistem hukum tradisional untuk mengatur aktivitas-aktivitas di
internet sangat mendesak untuk dilakukan. Pencegahan dan penanggulangannya
adalah dengan mengaplikasikan sistem hukum tradisional yang saat ini berlaku.
Kelemahan utama kelompok ini merupakan kebalikan dari kelompok pertama, yaitu
mereka menafikan fakta bahwa aktivitas-aktivitas di internet menyajikan
realitas dan persoalan baru yang merupakan fenomena khas masyarakat informasi
yang tidak sepenuhnya dapat direspon oleh sistem hukum tradisional.
Kelompok ketiga tampaknya
merupakan sintesis dari kedua kelompok di atas. Sehubungan bentuk pengaturan di
dalam cyberspace, dapat ditinjau dari 2 (dua) pendekatan, yaitu pertama apakah
perlu menciptakan norma-norma dan peraturan-peraturan khusus untuk kegiatan/aktivitas
di Cyberspace atau Cyberlaw dan kedua, perlu diterapkan model-model peraturan
yang dikenal di dunia nyata pada dunia cyber. Untuk menentukan model mana yang
sebaiknya dipakai, maka perlu ditentukan terlebih dahulu ruang lingkup dari
Cyberlaw.
Ada 2 (dua) model yang diusulkan
oleh Mieke untuk mengatur kegiatan-kegiatan di Cyberspace, yaitu :
Model Ketentuan Payung (Umbrella
Provisions) sebagai upaya harmonisasi hukum. Model ketentuan payung dapat
memuat :
a.
Materi-materi pokok saja yang perlu diatur dengan memperhatikan semua
kepentingan, antara lain seperti pelaku usaha, konsumen, pemerintah, penegak
hukum.
b.
Keterkaitan hubungan dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada
terlebih dahulu dan yang akan datang agar tercipta suatu hubungan sinergis.
Model Triangle Regulations
sebagai Upaya Mengantisipasi Pesatnya Laju Kegiatan-kegiatan di cyberspace.
Berdasarkan skala prioritas 3 (tiga) regulasi yang dapat disusun terlebih
dahulu, yaitu :
c.
Pengaturan sehubungan transaksi perdagangan elektronika (E-Commerce) atau
on-line transaction, yang didalamnya memuat antara lain tentang Digital
Signature dan Certification of Authority, aspek pembuktian, perlindungan
konsumen, antimonopoli dan persaingan sehat, perpajakan, serta asuransi.
d.
Pengaturan sehubungan Privacy Protection terhadap pelaku bisnis dan konsumen,
yang didalamnya memuat antara lain perlindungan electronic databases,
individual/company records.
e.
Pengaturan sehubungan Cybercrime, yang didalamnya memuat antara lain yurisdiksi
dan kompetensi dari badan peradilan terhadap kasus-kasus yang terjadi dalam
Cyberspace, penupuan melalui komputer atau melalui jaringan telekomunikasi,
ancaman dan pemerasan, fitnah atau penghujatan (defamation), kegiatan transaksi
atas substansi yang berbahaya, eksploitasi seksual dari anak-anak, substansi
yang tidak layak untuk ditransmisikan.
3. Pencegahan dan Penanggulangan
Cybercrime
Pencegahan dan Penanggulangan
Cybercrime dengan Sarana Penal
Indonesia saat ini masih membahas
Rancangan Undang-undang mengenai cybercrime. Model yang digunakan adalah
Umbrella Provision sehingga ketentuan cybercrime tidak dalam perundang-undangan
tersendiri, tetapi diatur secara umum dalam Rancangan Undang-Undang Teknologi
Informasi. Pasal-pasal yang menyangkut ketentuan pidana adalah Pasal 29 – Pasal
40. Khusus mengenai hacking, selain diatur secara tersendiri dalam Pasal 31,
sebenarnya pasal-pasal lain dapat juga dikenakan pasal Hacking tersebut karena
hacking merupakan first crime.
Menurut Barda Nawawi Arief,
kebijakan yang ditempuh sementara dalam konsep 2000 yang berkaitan dengan
kegiatan di Cyberspace adalah sebagai berikut : Dalam Buku I (Pasal 174) yang
didalamnya termasuk benda tidak berwujud berupa data dan program komputer, jasa
telepon atau telekomunikasi atau jasa komputer.
Pengertian “barang” (Pasal 174)
yang didalamnya termasuk benda tidak berwujud berupa data dan program komputer,
jasa telepon atau telekomunikasi atau jasa komputer.
Pengertian “anak kunci” (Pasal
178) yang didalamnya termasuk kode rahasia, kunci masuk komputer, kartu
magnetik, sinyal yang telah diprogram untuk membuka sesuatu. Maksud dari anak
kunci ini kemungkinan besar adalah password atau kode-kode tertentu seperti
privat atau public key infrastucture.
Pengertian “Surat” (pasal 188)
termasuk data tertulis atau tersimpan dalam disket, pita magnetik, media
penyimpanan komputer atau penyimpanan data elektronik lainnya.
Pengertian “ruang” (Pasal 189)
termasuk bentangan atau terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara
tertentu. Maksud dari ruang ini kemungkinan termasuk pula dunia maya atau
mayantara atau cyberspace atau virtual reality.
Pengertian “masuk” (Pasal 190)
termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem komputer. Ada 2 (dua)
pengertian masuk, yaitu masuk ke internet dan masuk ke situs.
Pengertian “jaringan telepon”
(Pasal 191) termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer.
Menurut Yusril Ihza Mahendra
mengenai penggunaan hukum pidana dan kriminalisasi suatu perbuatan menjadi
tindak pidana yaitu sebagai berikut:
Hukum pidana harus digunakan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, merata materiil dan spirituil.
Hukum pidana bertugas untuk menanggulangi kejahatan dan juga pengugeran
terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri untuk kesejahteraan masyarakat
atau untuk pengayoman masyarakat.
Hukum pidana digunakan untuk
mencegah atau menanggulangi perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan
yang mendatangkan kerugian pada masyarakat. Penggunaan sarana hukum pidana
dengan sanksi yang negatif perlu disertai dengan perhitungan biaya yang harus
dikeluarkan dan hasil yang diharapkan akan dicapai (cost and benefit
principle).
Dalam pembuatan peraturan hukum
pidana perlu diperhatian kemampuan daya kerja dari badan-badan tersebut, jangan
sampai ada kelampauan beban tugas atau over belasting.
Pencegahan dan Penanggulangan
Cybercrime dengan Sarana Non Penal
Meskipun hukum pidana digunakan
sebagai ultimum remidium atau alat terakhir apabila bidang hukum yang lain
tidak dapat mengatasinya, tetapi harus disadari bahwa hukum pidana memiliki
keterbatasan kemampuan dalam menanggulangi kejahatan. Keterbatasan-keterbatasan
tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief adalah sebagai
berikut:
Sebab-sebab kejahatan yang
demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana.
Hukum pidana hanya merupakan
bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin
mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang
sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik,
sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya).
Penggunaan hukum pidana dalam
menanggulangi kejahatan hanya merupakan “Kurieren am symptom”, oleh karena itu
hukum pidana hanya merupakan “pengobatan simptomatik” dan bukan “pengobatan
kausatif”.
Sanksi hukum pidana merupakan
“remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung
unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif.
Sistem pemidanaan bersifat
fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional.
Keterbatasan jenis sanksi pidana
dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif.
Bekerjanya/berfungsinya hukum
pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut
“biaya tinggi”.
Sebaiknya dikembangkan
sarana-sarana pemidanaan dengan kebijakan non penal. Cyber crime adalah
kejahatan yang termasuk dalam kategori kerah putih (white collar crime) dimana
pelaku adalah orang yang berpendidikan tinggi dan memiliki kemampuan teknis
cukup tinggi. Pengembangan sarana-sarana pemidanaan non penal akan memberikan
kontribusi kepada negara dalam bentuk tenaga kerja ahli apabila mereka
diwajibkan kerja sosial di lembaga-lembaga yang ditunjuk, atau membayar denda
yang cukup besar, sehingga negara mendapat pemasukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar